MGFbLWN8MaB8LGN7NaBdNGRbNDcsynIkynwbzD1c

Sinetron Remaja, Generasi Yang Nggak Punya Harga Dir

BLANTERLANDINGv101
5528357659363601221

Sinetron Remaja, Generasi Yang Nggak Punya Harga Dir

11/09/14
TUJUH taon belakangan ini, terutama sejak taon 2005, sinetron remaja emang makin membludak di layar televisi. Nggak sekadar tayang begitu aja, karena man bayangin!, sinetron-sinteron itu ditayangin pada jam prime time (antara pukul 18.30 sampe 21.00). Hmm, tau sendirikan, nggak sembarang acara bisa nongol di televisi pada jam-jam segitu. Maklum, acara di jam prime time jelas-jelas mendapat perhatian dan rating tinggi. Iklannya bejibun, dan ditonton oleh banyak orang. Dan, nggak cuma di satu televisi doang. Semua televisi (swasta) berlomba-lomba mengusung sinetron remaja silih berganti dan nggak jarang berentetan sekaligus
 
Kalo mau dhitung jumlahnya, dalam sehari kita bisa melototin semua sinetron itu lebih dari 25 biji! Dalam sehari! Uhuks! Catet guys!, itu cuma sinetron tentang remaja doang belom ditambah dengan sinetron-sinetron lainnya kayak sinetron ibu-ibu, sinetron silat, en sinetron anak-anak. Hitungannya, itu aja kalo di setiap stasiun televisi ada dua sinetron remaja setiap harinya. Padahal di beberapa stasiun televisi jumlahnya bisa mencapai 3 atawa 4. Dalam seminggu sinetron remaja bisa nongol 80 buah! (biasanya pas hari Ahad nggak begitu banyak, paling cuma 1 dan itupun hanya di beberapa stasiun teve aja).

Mustinya, kita seneng dong dengan banyaknya  tayangan yang mengetengahkan kehidupan tentang kita sebagai pelajar dan remaja? Hmm, itu dia, tunggu dulu! Ada yang ganjil dan ngaco tentang sinetron-sinetron remaja itu.

Sobat, film (atawa sinetron) sebagai seni adalah salah satu bentuk potret dari kebudayaan atawa realitas yang ada. Tapi apa bener begitu? Di sinetron-sinetron tersebut, yang ada malah kontradiktif kayaknya. Gimana nggak? Kalo Ente pernah (atau bahkan freaky) sinetron-sinetron itu, bener-bener sangat jauh dari kenyataan yang kita jalani sehari-hari. Bayangin aja, misalnya anak sekolah. Tau sendiri kan gimana dandanan anak sekolah di sinetron. Rambut pake style terbaru—nggak jarang dicat en di-punk segala (harajuku!), seragam udah nggak karu-karuan. Baju udah nggak pernah deh dimasupin, rok perempuannya mini banget. Aksesorisnya hmmm, bayangin aja kalung anjing aja bisa ada di leher para pemerannya. Anting di kuping? Tindik?  Hahh, itu sih udah lazim banget! Brur, apa udah sebegitu parahnya dandanan kita-kita ini? Kayaknya nggak deh! Seburuk-buruknya para pelajar di Jakarta sekalipun, belom ada kayaknya yang kayak gitu.

Miris en jengkel aja bawaannya. Kayaknya tuh sinetron pengen banget nunjukkin kalo kita tuh pelajar zaman kiwari songong-songong en nggak punya etika. Sesuatu yang sesungguhnya jauh panggang dari api! Alias boong besar!

Seperti tadi dibilangin, emang di sinetron-sinetron itu nggak ada faedah-faedahnya, emang bener! Apa yang mau diliat coba? Dari segi cerita, ancur abis. Sangat nggak masup akal! Coba aja liat skenarionya. Ada seorang pemuda yang sakti mandraguna banget, bisa  mengubah-ngubah wajahnya menjadi kayak apa aja yang dimau hingga banyak digila-gilai cewek. Modalnya cuma sebuah cincin doang. Ada juga ikan yang sakti yang bisa nolongin si jagoan utama. Ada juga anak miskin yang jadi kaya karena bantuan dari dunia ghaib. Walah-walah, bisa bikin hati pegel!

Pada dasarnya hanya ada tiga yang menjadi tema besar tuh sinetron-sinetron cupu. Pertama yang pasti dan jadi menu andalan, tentang seks. Seks bebas yang kecil-kecilan maupun dalam porsi yang besar. Ini kayaknya menjadi agenda utama dan musti ada di semua sinetron. Dengan alasan modern en anak gaul, karakter-karakter yang ada di sinetron itu enteng aja membawa permasalahannya ke permukaan. Heran dah, anak sekolah kok kerjaannya musti ajaaaa mikirin tentang cowok atau cewek pacarnya. Kayak nggak ada persoalan laen yang lebih bergizi gitu! Emang di seusia kita, ketertarikan lawan jenis lagi ngejedar-ngejedarnya, tapi kok ya masak sih hidup kita ini cuma dipake buat mikirin cinta yang jahil abis begitu?

Menu yang kedua, kriminal. Ampir nggak ada di sinetron-sinetron ini yang nggak berbau kejahatan. Ada tokoh yang jahatnya minta ampun, ibu tiri yang kejam, saudara kandung yang penuh dengki, dan lain sebagainya yang semuanya ngegambarin dunia ini is so severe! Yang bikin ngeri, semuanya itu diberi solusi instan yang efeknya bener-bener nggak manusiawi: dihabisin atawa dibunuh! Hahhh!!!

BRUR, nggak usah heran kalo sebenernya fenomena sinetron remaja sekarang ini cenderung berorientasi ke arah popularitas dan materi semata. Akbibatnya, hasil pesan yang disampein tuh filmnya jadinya jelas-jelas nggak kreatif. Artinya, hampir nggak ada pesan sosial yang berarti. Sebaliknya hanya sekadar menampilkan kehidupan remaja terutama di kota-kota besar, di mana pesan yang ingin disampein kepada penonton cenderung hanya bersifat menghibur en memancing emosi remaja yang imitasi, yang palsu.
Guys, kenapa semua ini terjadi? Minimal ada empat  unsur yang mempengaruhi fenomena di atas. Pertama, dari sisi pelaku. Baik artis, sutradara, maupun para pelaku sinetron punya fikroh (paham) Barat berupa kebebasan berekspresi yang bersumber dari demokrasi. Mereka beranggapan, kalo nggak ngerugiin orang lain dan nggak melanggar HAM, apa urusannya? Mereka juga beranggapan, semua yang mereka lakukan itu adalah seni.

Alasan kedua adalah bisnis (faktor ekonomi). Mereka melakukan semua itu demi uang, tanpa peduli apakah yang dilakukannya itu mau halal atau haram kek, apakah berakibat buruk atau baik bagi masyarakat, what the heck! Ini sebenernya sebanding dengan hukum ekonomi itu sendiri. Pernah nggak sih kepikiran, kenapa sinetron-sinetron itu malah menjamu dan makin banyak? Itu karena ada yang beli. Ada yang nonton. Lantas, siapa yang nonton, siapa kalo bukan remaja-remaja seumuran kita—dan jangan-jangan bisa jadi kita juga malah ikutan nonton.
Alasan ketiga, karena kitanya diam. Kita sebagai masyarakat nggak bereaksi apapun terhadap sinetron-sinetron yang nggak punya harga diri itu. Kita hafal bagnet kalo para penggagas ide kebebasan berekspresi dan berperilaku itu biasanya berlindung di balik jargon demokrasi. Ketika mereka menyuguhkan pornografi atau pornoaksi, mereka cukup berkata, “Biarlah masyarakat yang menilai, karena masyarakat sekarang sudah dewasa.” Nah, celakanya, meski sebagian besar masyarakat (en kita juga) nggak setuju terhadap fenomena di atas, malah cenderung diam aja. Nggak protas-protes, lewat sekadar telefon ke televisi yang bersangkutan ataupun nulis surat pembaca di media massa gitu. Kalo sering digituin, percaya dah, tuh orang-orang lama-lama bakalan jadi keder juga.

Jangankan melakukan aksi menentang keberadaan fenomena di atas, sekadar berkomentar dengan nada sinis saja nggak bisa. Sikap diam kita ini  bisa dijadikan pembenaran oleh penggagas ide sesat di atas sebagai ’tanda setuju’ terhadap apa yang mereka lakukan, karena nggak ada protes apalagi pemboikotan.

Dan alasan yang terakhir neh, dukungan pemerintah. Pemerintah, secara sadar ataupun nggak, justru menjadi pendorong utama bagi tumbuh-suburnya “penyimpangan” sinetron di atas. Gimana nggak? Pemerintah udah mengadopsi demokrasi dan HAM sebagai mainstream (arus utama) dalam menata negeri ini. Sebagaimana kita ketahui, yang menjadi alasan utama para penggagas dan pelaku penyimpangan sosial di atas adalah demokrasi dan HAM. Dari sinilah kita bisa mengerti mengapa pemerintah nggak bisa melarang bahkan menghapus praktik-praktik sesat di atas.

Bos, sekarang neh, semuanya mulai berada di tangan kita.  Akankah kita jadi penikmat sejati sinetron amburadul di televisi yang nggak punya harga diri sama sekali nyatain perang sama sinetron Indonesia yang nggak punya gizi? [islampos]
TAGS
BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Masukan Data Anda
Pilih Layanan
Kirim Sekarang